Senin, 28 Oktober 2013

Filosofi Pengamen

Terkadang mereka berpenampilan lusuh, membawa gitar, atau alat musik lain yang mudah dibawa kemana mereka pergi. Berpindah dari rumah ke rumah, bus satu ke bus lain, atau berhenti di persimpangan jalan, menjual suara yang terkadang terdengar asal-asalan bahkan menyakitkan telinga yang mendengar. Ada juga yang hanya bermodalkan irama tepuk tangan meski ada juga yang mempunyai suara merdu. Ya, mereka adalah pengamen. Menjual suara mereka demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan terkadang hanya cukup untuk makan sehari. Berharap welas asih kepada para pendengar lagu yang mereka nyanyikan untuk memberikan sekedar uang recehan.

Mungkin bagi sebagian orang pengamen hanyalah sebuah pengganggu. Pengganggu ketenangan di saat mungkin sedang makan, sedang santai, ataupun aktivitas-aktivitas lainnya. Tetapi sebenarnya pengamen tak ubahnya seperti seorang pedagang yang menjual dagangannya. Namun kali ini berbentuk jasa, lebih tepatnya suara emas mereka. Berbeda dengan pedagang biasa yang hanya memberikan penawaran atas apa yang mereka jual, pengamen memberikan dagangannya kepada para konsumen untuk dinikmati secara langsung. Tanpa harus memberitahu berapa harga barang dagangannya pengamen mengharap para konsumennya mau membayar atas apa yang sudah diberikannya.

Mungkin kata-kata ngamen selalu identik dengan definisi di atas. Definisi yang sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Kita temui dalam setiap waktu yang kita jalani. Dan dari semua yang sering kita lihat ada yang kita tidak sadari. Meskipun ada beberapa pengamen, mungkin kebanyakan, mungkin juga sedikit, yang memaksa meminta uang, ada dari mereka yang tidak memaksa, mengharap kerelaan, bahkan menerima cacian tanpa harus mendapat uang. Bukankah pengamen ini tak ubahnya dengan mereka yang menyanyi di kafe, pub, klub, restoran, bahkan panggung megah yang disiarkan oleh media massa?? Mereka sama-sama menyanyi, menghibur orang, memainkan alat musik. Walaupun mereka ada di tempat berbeda, dengan kostum berbeda, dan audiens yang berbeda. Tapi bukankah mereka sama-sama menyanyi?? Mereka hidup, mememenuhi kebutuhan juga sama-sama dari menyanyi, hanya saja penyanyi atau band yang sudah sering muncul di televisi atau siaran di radio lebih beruntung daripada pengamen.

Tak sedikit penyanyi papan atas yang jika ditelusuri awal mulanya hanyalah pengamen yang harus berpindah dari bus ke bus, warung ke warung, rumah ke rumah. Tapi mereka beruntung saja mungkin bisa ditemukan oleh orang industri rekaman, atau mereka memang berusaha keras menembus industri rekaman itu sendiri. Tapi semua itu butuh proses. Tidak semua serta merta datang kesuksesan dengan mudah. Ada pengamen yang sukses menjadi musisi atau band ternama dan bertahan lama, ada juga yang dengan cepat meredup kariernya, ada jua yang harus naik turun kariernya atau kata lain byar pet byar pet sinarnya.

Pengamenn dan penyanyi papan atas sebenarnya melakukan pekerjaan yang sama, dan mereka memilih itu karena kesukaan mereka kepada tarik suara. Ya, jika bukan tarik suara bilang saja dunia musik. Mereka menyanyi, memainkan musik, bekerja, mendapat uang, memenuhi kebutuhan hidup dari hobi yang dijalankannya. Hati senang bisa menjalankan hobi, ditambah dapat uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Betapa nikmatnya hidup mereka. Meski jika boleh dikatakan angka yang mereka terima mungkin jauh berbeda. Oke, pada intinya, jika kita bekerja atau melakukan hal yang tidak bersifat profesional paling tidak tirulah sikap pengamen yang tidak menuntut balasan tapi melakukannya dengan sukarela, ibarat sedang menghibur atau membantu orang lain. Toh sembari melakukan kesenangan atau hobi. Tapi ketika sudah memasuki profesionalitas kerja, hormatilah kesepakatan yang telah disepakati dan jangan mau dirugikan atau merugikan.